Menjadi ateis di Indonesia tentu tidak mudah. Sebab itu, banyak dari mereka men yembunyikan identitas sebagai kaum penolak Tuhan.
Berbeda dengan Karl Karnadi. Dia cuek saja nama len gkapnya disebut dan fotonya dipublikasi. Dia hanya ingin masyarakat Indonesia menerima kenyataan sekaligus perbedaan. Meski sebagai negara berketuhanan, ada sebagian kecil dari warga Indonesia menolak mengakui Tuhan itu ada.
Mulanya, dia sedikit tertutup lantaran belum ada media berbahasa Indonesia mewawancarai dia sebagai pendiri komunitas Indonesian Atheists. Berikut wawancara Faisal Assegaf dari merdeka.com dengan Karl Karnadi melalui surat elektronik, Selasa (19/3).
Gagasan siapa mendirikan Komunitas Ateis Indonesia?
Pada Oktober 2008, saya mendirikan komunitas Facebook bernama Indonesian Atheists, disingkat IA (catatan: namanya persis seperti itu dgn istilah Inggris, berbeda dgn ateis indonesia atau komunitas atheis indonesia). Sebelum itu, sebenarnya sudah ada beberapa komunitas ateis di forum-forum atau milis meski belum ada yang dikembangkan serius. Ide dari saya awalnya sederhana saja.
Saya ingin tempat berdiskusi dengan teman-teman saya dari Indonesia yang juga ketemu bertemu di Internet dan sama-sama ateis atau agnostik. Awalnya jumlahnya kecil sekali, kurang dari sepuluh orang. Sekarang tentu ini berkembang jauh dari sekadar online di mana kami bisa berkumpul juga di dunia nyata, saling dukung satu sama lain pada saat ada yang terkena diskriminasi.
Pada 2011, teman saya (salah satunya akan anda wawancara), mendirikan laman Facebook bernama Anda Bertanya Ateis Menjawab, disingkat ABAM beralamatkan di dan ini sedang kami kembangkan. Gagasan ini berasal dari teman saya tadi, tapi saya dan beberapa teman lain sangat mendukung dan ikut mengembangkan. Grup IA di atas diperuntukkan untuk sesama ateis dan agnostik, sementara ABAM untuk semua orang, baik beragama atau tidak. Kami mengharuskan format interaksi di ABAM dalam bentuk tanya jawab sehingga menghindarkan debat kusir atau interaksi tidak sehat.
Apa tujuan pendirian komunitas ini?
Tujuannya ada dua, ke dalam dan keluar. Ke dalam, kami ingin mendukung dan menghibur teman-teman ateis terdiskriminasi dalam dunia nyata, dan ada banyak sekali yang seperti ini. Ada banyak orang masih menyembunyikan identitas sebagai ateis, pelajar harus berpura-pura beragama di hadapan keluarganya, suami atau istri harus berpura-pura di hadapan anak dan pasangannya. Sama sekali tidak mudah.
Bayangkan bila teman-teman beragama dipaksa harus berpura-pura beragama lain, kira-kira rasanya sama. Tidak setuju tetapi tidak bisa bersuara, tidak bisa menampilkan jati diri tanpa jadi korban kebencian dan diskriminasi. Komunitas online sangat berperan sebagai kelompok pendukung dan memberikan dukungan bagi mereka yang terdiskriminasi.
Keluar, kami ingin mengenalkan ada ateis juga di Indonesia dan kami ingin dipandang bukan sebagai musuh, tapi sebagai sesama manusia, sesama warga Indonesia. dari permusuhan adalah prasangka negatif sering salah tetapi tersebar luas. Prasangka-prasangka negatif ini ingin kami luruskan.
Ateis adalah orang-orang normal dan bermoral, warga yang membayar pajak dan mengikuti hukum, sama seperti orang-orang lain beragama. Bedanya, kami tidak percaya keberadaan Tuhan agama apapun. Perbedaan kadang menimbulkan ketersinggungan. Ini lumrah, tetapi tidak harus disikapi dengan permusuhan dan kebencian. Sebagai sesama manusia, sebenarnya kita memiliki lebih banyak persamaan ketimbang perbedaan, hanya kita sering lupakan itu dan fokus pada perbedaannya saja.
Tujuan pertama kami capai dengan grup IA dan tujuan kedua dengan laman ABAM.
Kapan komunitas itu dibentuk? Siapa saja pendirinya dan di mana didirikan?
Ini kebetulan sudah saya sebutkan di atas. Kami adalah satu komunitas dan menyediakan berbagai macam media interaksi, dua di antaranya melalui IA (Indonesian Atheists) ke sesama ateis dan ABAM (Anda Bertanya Ateis Menjawab) kepada orang lain.
Sampai kini sudah berapa jumlah anggota komunitas? dari mana saja, berapa lelaki dan perempuan? Asal agama mana saja?
Pencatatan lumayan akurat bisa dilihat di Di situ bisa terlihat jumlah dari komunitas ateis dari Indonesia sekitar 600-an orang. Tentu yang aktif dan bertemu reguler tidak sebanyak itu. Urutan eks agama apa saja sesuai dengan demografis Indonesia, jadi terbesar dari muslim, kemudian Kristen, dan seterusnya. Kami tidak mencatat atau mendata anggota-anggota kami baik yang aktif atau tidak aktif. Banyak dari mereka masih tertutup di kehidupan nyata dan mungkin tidak akan merasa nyaman bila didata seperti itu, jadi maaf kalau tidak mendetail. Tapi data-data dari atheistcensus saya rasa cukup bagus.
Apakah komunitas ini memiliki kantor dan ada pertemuan rutin? Kalau ada, apa saja yang dibahas?
Tidak, kantor kami di Facebook dan media sosial lainnya. Seperti saya sebut di atas, ada pertemuan-pertemuan di beberapa kota besar meski tidak rutin. Nonton bioskop atau film DVD bersama-sama, datang ke acara tertentu bareng, menyanyi karaokean, dan makan malam rame-rame. Tentu ada beraneka ragam topik dibahas, di antaranya juga curhat pada saat ada kesulitan atau frustrasi terhadap kondisi kehidupan penuh diskriminasi. Tetapi yang terutama adalah bersenang-senang bersama-sama.
Bagaimana reaksi saat komunitas ini dibentuk?
Pemberitaan dimulai pada saat AFP (salah satu media internasional) mewawancarai saya dan memberitakan pada Januari 2009 tentang komunitas ateis di Indonesia. Kemudian tidak lama, komunitas kami berkembang pesat, baik dari jumlah atau pemberitaan di media. Jadi saya rasa sejauh ini cukup positif. Banyak pengunjung laman ABAM dari orang-orang beragama mulai menerima keberadaan kami meski di saat yang sama tidak setuju dengan ateis. Saya harap pembaca artikel ini akan memiliki kesan sama.
Apa alasan Anda menjadi atheis? Sejak kapan Anda menjadi atheis? Bagaimana reaksi keluarga Anda?
Tiga pertanyaan ini saya jawab sekaligus. Saya menjadi ateis baru sekitar akhir 2007, tetapi sudah melalui sekitar dua tahun penuh pergumulan. Saya belajar banyak hal sebelumnya tentang sains dan agama. Jawaban dari masing-masing agama berdasar kitab atau tokoh tertentu mereka sucikan tidak memuaskan saya.
Keluarga saya beragama dan taat. Mereka tentunya kecewa dengan jalan saya tempuh tetapi saya cukup beruntung mereka tetap menerima saya sebagai anak. Banyak teman-teman ateis lain mengalami nasib jauh lebih buruk dengan adanya pengusiran dari rumah dan pengucilan. Saya juga beruntung karena saya berangkat untuk studi di Jerman sehingga relatif sedikit tekanan psikologis dan diskriminasi saya terima. Saya salut kepada teman-teman ateis lain tinggal di Indonesia dan harus mengalami diskriminasi setiap hari. Pastinya tidak mudah.
Apakah Anda yakin orang bisa benar-benar tidak percaya Tuhan?
Seorang muslim tidak percaya agama Kristen, Hindu, dan agama lain selain Islam. Seorang Kristen tidak percaya semua agama kecuali Kristen. Kami mirip seperti itu, bedanya adalah kami tidak percaya semua agama. Ini sesuatu mungkin asing bagi masyarakat Indonesia belum pernah mendengar, tetapi kami benar-benar tidak percaya Tuhan. Kami menjalani hidup seperti biasa, dengan mimpi-mimpi dan ambisi, dengan keberhasilan dan kegagalan, sama seperti orang lain. Hanya saja kami tidak menggantungkan pada Tuhan melainkan pada harapan, pembelajaran, introspeksi diri, pada berbagai hal manusiawi kami bisa pelajari.
Berbeda dengan Karl Karnadi. Dia cuek saja nama len gkapnya disebut dan fotonya dipublikasi. Dia hanya ingin masyarakat Indonesia menerima kenyataan sekaligus perbedaan. Meski sebagai negara berketuhanan, ada sebagian kecil dari warga Indonesia menolak mengakui Tuhan itu ada.
Mulanya, dia sedikit tertutup lantaran belum ada media berbahasa Indonesia mewawancarai dia sebagai pendiri komunitas Indonesian Atheists. Berikut wawancara Faisal Assegaf dari merdeka.com dengan Karl Karnadi melalui surat elektronik, Selasa (19/3).
Gagasan siapa mendirikan Komunitas Ateis Indonesia?
Pada Oktober 2008, saya mendirikan komunitas Facebook bernama Indonesian Atheists, disingkat IA (catatan: namanya persis seperti itu dgn istilah Inggris, berbeda dgn ateis indonesia atau komunitas atheis indonesia). Sebelum itu, sebenarnya sudah ada beberapa komunitas ateis di forum-forum atau milis meski belum ada yang dikembangkan serius. Ide dari saya awalnya sederhana saja.
Saya ingin tempat berdiskusi dengan teman-teman saya dari Indonesia yang juga ketemu bertemu di Internet dan sama-sama ateis atau agnostik. Awalnya jumlahnya kecil sekali, kurang dari sepuluh orang. Sekarang tentu ini berkembang jauh dari sekadar online di mana kami bisa berkumpul juga di dunia nyata, saling dukung satu sama lain pada saat ada yang terkena diskriminasi.
Pada 2011, teman saya (salah satunya akan anda wawancara), mendirikan laman Facebook bernama Anda Bertanya Ateis Menjawab, disingkat ABAM beralamatkan di dan ini sedang kami kembangkan. Gagasan ini berasal dari teman saya tadi, tapi saya dan beberapa teman lain sangat mendukung dan ikut mengembangkan. Grup IA di atas diperuntukkan untuk sesama ateis dan agnostik, sementara ABAM untuk semua orang, baik beragama atau tidak. Kami mengharuskan format interaksi di ABAM dalam bentuk tanya jawab sehingga menghindarkan debat kusir atau interaksi tidak sehat.
Apa tujuan pendirian komunitas ini?
Tujuannya ada dua, ke dalam dan keluar. Ke dalam, kami ingin mendukung dan menghibur teman-teman ateis terdiskriminasi dalam dunia nyata, dan ada banyak sekali yang seperti ini. Ada banyak orang masih menyembunyikan identitas sebagai ateis, pelajar harus berpura-pura beragama di hadapan keluarganya, suami atau istri harus berpura-pura di hadapan anak dan pasangannya. Sama sekali tidak mudah.
Bayangkan bila teman-teman beragama dipaksa harus berpura-pura beragama lain, kira-kira rasanya sama. Tidak setuju tetapi tidak bisa bersuara, tidak bisa menampilkan jati diri tanpa jadi korban kebencian dan diskriminasi. Komunitas online sangat berperan sebagai kelompok pendukung dan memberikan dukungan bagi mereka yang terdiskriminasi.
Keluar, kami ingin mengenalkan ada ateis juga di Indonesia dan kami ingin dipandang bukan sebagai musuh, tapi sebagai sesama manusia, sesama warga Indonesia. dari permusuhan adalah prasangka negatif sering salah tetapi tersebar luas. Prasangka-prasangka negatif ini ingin kami luruskan.
Ateis adalah orang-orang normal dan bermoral, warga yang membayar pajak dan mengikuti hukum, sama seperti orang-orang lain beragama. Bedanya, kami tidak percaya keberadaan Tuhan agama apapun. Perbedaan kadang menimbulkan ketersinggungan. Ini lumrah, tetapi tidak harus disikapi dengan permusuhan dan kebencian. Sebagai sesama manusia, sebenarnya kita memiliki lebih banyak persamaan ketimbang perbedaan, hanya kita sering lupakan itu dan fokus pada perbedaannya saja.
Tujuan pertama kami capai dengan grup IA dan tujuan kedua dengan laman ABAM.
Kapan komunitas itu dibentuk? Siapa saja pendirinya dan di mana didirikan?
Ini kebetulan sudah saya sebutkan di atas. Kami adalah satu komunitas dan menyediakan berbagai macam media interaksi, dua di antaranya melalui IA (Indonesian Atheists) ke sesama ateis dan ABAM (Anda Bertanya Ateis Menjawab) kepada orang lain.
Sampai kini sudah berapa jumlah anggota komunitas? dari mana saja, berapa lelaki dan perempuan? Asal agama mana saja?
Pencatatan lumayan akurat bisa dilihat di Di situ bisa terlihat jumlah dari komunitas ateis dari Indonesia sekitar 600-an orang. Tentu yang aktif dan bertemu reguler tidak sebanyak itu. Urutan eks agama apa saja sesuai dengan demografis Indonesia, jadi terbesar dari muslim, kemudian Kristen, dan seterusnya. Kami tidak mencatat atau mendata anggota-anggota kami baik yang aktif atau tidak aktif. Banyak dari mereka masih tertutup di kehidupan nyata dan mungkin tidak akan merasa nyaman bila didata seperti itu, jadi maaf kalau tidak mendetail. Tapi data-data dari atheistcensus saya rasa cukup bagus.
Apakah komunitas ini memiliki kantor dan ada pertemuan rutin? Kalau ada, apa saja yang dibahas?
Tidak, kantor kami di Facebook dan media sosial lainnya. Seperti saya sebut di atas, ada pertemuan-pertemuan di beberapa kota besar meski tidak rutin. Nonton bioskop atau film DVD bersama-sama, datang ke acara tertentu bareng, menyanyi karaokean, dan makan malam rame-rame. Tentu ada beraneka ragam topik dibahas, di antaranya juga curhat pada saat ada kesulitan atau frustrasi terhadap kondisi kehidupan penuh diskriminasi. Tetapi yang terutama adalah bersenang-senang bersama-sama.
Bagaimana reaksi saat komunitas ini dibentuk?
Pemberitaan dimulai pada saat AFP (salah satu media internasional) mewawancarai saya dan memberitakan pada Januari 2009 tentang komunitas ateis di Indonesia. Kemudian tidak lama, komunitas kami berkembang pesat, baik dari jumlah atau pemberitaan di media. Jadi saya rasa sejauh ini cukup positif. Banyak pengunjung laman ABAM dari orang-orang beragama mulai menerima keberadaan kami meski di saat yang sama tidak setuju dengan ateis. Saya harap pembaca artikel ini akan memiliki kesan sama.
Apa alasan Anda menjadi atheis? Sejak kapan Anda menjadi atheis? Bagaimana reaksi keluarga Anda?
Tiga pertanyaan ini saya jawab sekaligus. Saya menjadi ateis baru sekitar akhir 2007, tetapi sudah melalui sekitar dua tahun penuh pergumulan. Saya belajar banyak hal sebelumnya tentang sains dan agama. Jawaban dari masing-masing agama berdasar kitab atau tokoh tertentu mereka sucikan tidak memuaskan saya.
Keluarga saya beragama dan taat. Mereka tentunya kecewa dengan jalan saya tempuh tetapi saya cukup beruntung mereka tetap menerima saya sebagai anak. Banyak teman-teman ateis lain mengalami nasib jauh lebih buruk dengan adanya pengusiran dari rumah dan pengucilan. Saya juga beruntung karena saya berangkat untuk studi di Jerman sehingga relatif sedikit tekanan psikologis dan diskriminasi saya terima. Saya salut kepada teman-teman ateis lain tinggal di Indonesia dan harus mengalami diskriminasi setiap hari. Pastinya tidak mudah.
Apakah Anda yakin orang bisa benar-benar tidak percaya Tuhan?
Seorang muslim tidak percaya agama Kristen, Hindu, dan agama lain selain Islam. Seorang Kristen tidak percaya semua agama kecuali Kristen. Kami mirip seperti itu, bedanya adalah kami tidak percaya semua agama. Ini sesuatu mungkin asing bagi masyarakat Indonesia belum pernah mendengar, tetapi kami benar-benar tidak percaya Tuhan. Kami menjalani hidup seperti biasa, dengan mimpi-mimpi dan ambisi, dengan keberhasilan dan kegagalan, sama seperti orang lain. Hanya saja kami tidak menggantungkan pada Tuhan melainkan pada harapan, pembelajaran, introspeksi diri, pada berbagai hal manusiawi kami bisa pelajari.